Custom Search

Sabtu, 10 Juli 2010

3G Access di Indonesia

3G dalam Persaingan Broadband Access di Indonesia

Beberapa waktu lalu, beberapa operator telekomunikasi akhirnya mendapatkan lisensi untuk penyelenggaraan layanan 3G di Indonesia. Dengan demikian Indonesia mulai memasuki era 3G, menyusul 97 negara lain di dunia yang telah mendahului, dengan lebih dari 200 operator.

3G dan Broadband Access

3G adalah teknologi generasi ketiga selular. Generasi 1 diwakili oleh teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System) yang berkembang di Amerika Serikat dan TACS (Total Access Communication Service) di Eropa. Teknologinya yang menggunakan sistem analog ini baru bisa melayani komunikasi suara. Generasi 2, inilah mulainya era GSM (Global System for Mobile Communication), telah menggunakan teknologi digital dan bisa melayani komunikasi SMS (short message service). Kecepatan transfer datanya 9600 bps (bit per second). Generasi 2.5, dengan kemampuan transfer data lebih besar, memperkenalkan layanan GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution). Generasi 3 dengan sistem UMTS (Universal Mobile Telecommunication System) dan WCDMA (Wideband - Coded Division Multiple Access) sudah bisa melayani multimedia secara baik seperti internet dan video call karena kemampuan transfer datanya bisa mencapai 2 Mbps.
Hal paling menarik dari generasi ketiga ini adalah kemampuannya dalam transfer data yang sangat kencang. Karena itulah, 3G pun dapat digolongkan sebagai teknologi akses pita lebar (broadband access).

Di dunia teknologi informasi dan telekomunikasi, juga dikenal teknologi broadband access lainnya, baik yang berupa Wired (kabel) maupun Wireless (nirkabel). Beberapa jenis teknologi tersebut beserta kemampuan kecepatan transmisi data dan jangkauannya bisa disimak pada tabel di bawah ini:


Provider dan Pasar Broadband Access

Saat ini, provider broadband access di Indonesia untuk masing-masing jenis teknologi adalah sebagai berikut:




Selanjutnya, bagaimana pasar broadband di Indonesia? Hal tersebut akan dipaparkan pada akhir tulisan ini. Sebelumnya, mari kita perhatikan apa yang terjadi di beberapa negara yang telah lebih dulu menerapkan teknologi ini.

Di Australia, pada 2006, pendapatan dari pasar broadband mencapai US$ 2 miliar, dengan pengguna sejumlah 3,52 juta2. Secara sekilas, berarti belanja rata-rata per pengguna per bulan (ARPU – average revenue per user) dari layanan ini sekitar Rp426.136.3

Untuk cakupan yang lebih luas lagi, di Asia Pasifik, pendapatan dari pasar broadband pada 2005 mencapai US$ 20,7 miliar, dan pada 2011 diperkirakan US$ 55,1 miliar4. Itu artinya, dalam 6 tahun diperkirakan terjadi peningkatan lebih dari 166% atau menjadi lebih dari 2,66 kali lipatnya.

Di dunia ini, pada 2007 diperkirakan pendapatan dari pasar broadband mencapai US$ 80 miliar5 dengan pengguna sejumlah 294 juta6. Secara sekilas, ARPU dari layanan ini sekitar Rp204.081


Peta Persaingan Teknologi Broadband Access
Kembali ke teknologi 3G dan persaingannya dengan teknologi broadband lainnya.
Secara umum, persaingan antar-teknologi broadband ada pada hal kemampuan mobilitas dan kecepatan transmisi data. Kemudian, dalam konteks konvergensi, maka berbagai teknologi tersebut akan bergerak dalam satu visi menuju broadband mobile convergence network.

Seluler, dalam pembahasan ini yang dimaksud adalah 3G, memiliki keunggulan penuh dalam hal mobilitas. Di bawahnya adalah BWA (broadband wireless access) lainnya. Teknologi BWA ini telah lebih dulu mencapai kemampuan transmisi lebih kencang.


WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access) adalah alternatif teknologi yang sangat prospektif untuk menggelar BWA. WiMax merupakan satu varian teknologi wireless yang memungkinkan transmisi pita lebar hingga 70 Mbps dengan jangkauan sekitar 50 kilometer. Teknologi ini merupakan pengembangan dari teknologi Wi-Fi (wireless fidelity) baik dalam kapasitas transmisi maupun daya jangkau.

Jika keunggulan mobilitas WiMax dan Wi-Fi bisa ditingkatkan lebih awal, maka mereka bisa menjadi pesaing tangguh bagi kelangsungan hidup 3G.







Jadi, akan bertahan berapa lamakah bisnis 3G di Indonesia?

Di Indonesia
Wi-Fi pada frekuensi 2.4 GHz telah dibebaskan penggunaannya. Seperti kita saksikan saat ini, penggunaan pemancar 2.4 GHz sudah marak di Indonesia terutama untuk keperluan Warung Internet (Warnet) dan Komunitas (RT/RW Net), juga perusahaan kecil & menengah, dan dunia pendidikan. Titik-titik hotspot di beberapa kota besar di Indonesia (di mall, ruang tunggu bandara, hotel, tempat makan, taman, masjid, dan kompleks perumahan) mulai menjamur dengan akses berbayar maupun tidak. Semua itu memanfaatkan teknologi Wi-Fi.

Saat ini (2007), pemerintah Indonesia sedang menyiapkan regulasi untuk penyelenggaraan WiMax. Direncanakan pada 10 Mei 2008, regulasi WiMax sudah bisa ditetapkan. Saat ini pun, beberapa produsen hardware di Indonesia sedang mempersiapkan diri masuk ke pasar ini. WiMax versi Indonesia segera hadir. Jika semua itu berjalan lancar, maka pada 2009, 3G akan berada pada posisi yang cukup terancam.

Kita menyadari, implementasi 3G di Indonesia membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Dalam hal ’pembagian’ lisensi spektrum 3G pun, Indonesia mengalami fase yang cukup semrawut.

Di Eropa
Di Eropa, penerapan 3G dinilai gagal karena tidak banyak pengguna internet yang melangganinya. Mereka lebih memilih akses Wi-Fi yang sudah menjamur di sana.

Di Jepang
NTT Docomo, operator 3G di Jepang, berhasil mengembangkan dan memopulerkan aplikasi browser iMode untuk pelanggannya. Layanan video call tidak begitu digemari di Jepang. Layanan download musik cukup populer di sini.
Dalam hal kebijakan pemerintahnya, untuk penggunaan lisensi spektrum 3G, para operator itu tidak dikenai biaya di muka.

Di Korea Selatan
Korea Selatan juga termasuk negara yang berhasil menerapkan 3G. SK Tel, operator 3G di sana, memiliki June dan Nate sebagai aplikasi browser bagi pelanggannya. Layanan video call juga tidak begitu digemari di Korea Selatan.

Jepang dan Korea, keduanya memiliki bahasa dan hurufnya sendiri. Keunikan ini dimanfaatkan oleh para operator 3G untuk masuk lebih mendalam ke local content.

Video Call, Killer Application 3G di Indonesia?

Seperti disebutkan di atas, bahwa 3G bisa dipakai untuk data (misalnya akses internet), suara (voice call), dan video (call & streaming). Pertanyaannya, manakah yang akan menjadi killer application7 3G? Pada fase tertentu, operator 3G harus menyiapkan sesi khusus untuk memperkirakan killer application apa yang sekiranya akan booming. Di setiap negara, ada kemungkinan berbeda-beda, tergantung budaya masyarakatnya. Kita telah melihat, bagaimana masyarakat Jepang dan Korea memanfaatkan 3G dan bagaimana masyarakat Eropa kurang memanfaatkannya.

Di Indonesia, kampanye video call dan video streaming sangat gencar pada awal perkenalan 3G. Sementara itu, seperti kita ketahui, pada era 2G, SMS telah menjadi killer application. Budaya masyarakat untuk ber-SMS sudah mulai terbentuk karena layanan tersebut dirasakan praktis dan lebih murah. Memindahkan kebiasaan ber-SMS ke video call, harus dibarengi dengan penerapan tarif yang terjangkau, jika tidak lebih murah setidaknya sama dengan tarif voice call.

Tarif bisa menjadi sesuatu yang sensitif di negara dalam kondisi ekonomi seperti Indonesia. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, namun dengan penetrasi pasar informasi dan telekomunikasi (infocom) yang masih kecil. Dengan kondisi pasar seperti itu, maka bisnis infocom bisa memilih model tarif murah dengan pelanggan banyak, atau tarif mahal dengan pelanggan terbatas.

Video call adalah moda komunikasi baru dan bisa cukup sensasional. Namun ia tidak akan mampu menjadi killer application 3G jika operator tidak peka membaca antara kebutuhan pelanggan dan besarnya tarif yang dipatok.

3G dan Broadband Access Lainnya:
Memotret Pergeseran Perilaku Penggunanya

Membandingkan 3G dengan broadband access lainnya sekilas bisa dianggap kurang relevan. Namun, atas nama visi konvergensi, maka hal ini bisa saja dianggap relevan.
3G lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia sebagai fitur handphone GSM. (Meskipun sebenarnya 3G juga ada dalam teknologi CDMA 1X). Bagi beberapa pengguna tingkat lanjut (advance), fitur ini bisa dimanfaatkan lebih optimal, termasuk untuk akses internet. Semenjak era 2.5G pun, mereka mungkin telah memanfaatkan GPRS untuk akses internet meskipun dengan kecepatan terbatas.

Sementara itu, pengguna PC dan laptop di Indonesia yang mendambakan akses internet murah (dan kencang), sudah lebih dulu ramah dengan teknologi akses sebelumnya, seperti dial-up, kabel, x-DSL, juga wireless (Wi-Fi/hotspot). Beberapa pengguna tingkat lanjut akan memanfaatkan berbagai aplikasi di internet, termasuk VoIP dan aplikasi lain yang masih dianggap cukup sensasional bagi sebagian masyarakat Indonesia. Mereka juga mulai memanfaatkan GPRS untuk akses internet secara mobile. Pengguna laptop itu juga mulai memakai PDA yang bisa mendukung akses lewat Wi-Fi.

Untuk menjaring pengguna internet, perlu disediakan secara mudah perangkat akses internet mereka, yaitu modem 3G yang ramah.

3G dan Internet Access
Pengguna internet di Indonesia tahun 2006 mencapai 20 juta, 2007 diperkirakan 25 juta, dan 2008 diperkirakan 34 juta pengguna. Sedangkan pelanggan internet di Indonesia pada 2006 mencapai sekitar 1,9 juta, 2007 diperkirakan 2,4 juta, dan 2008 diperkirakan sekitar 3 juta.

Pertanyaannya, dari sejumlah pelanggan internet itu, berapa pelanggan yang menggunakan broadband access? Berapa di antaranya yang menggunakan 3G?

Mari kita perhatikan data berikut ini.

Dalam waktu singkat, pertumbuhan pasar 3G di Indonesia yang mencapai 500.000 pelanggan merupakan fenomena menarik. Pada akhir 2006 lalu diperkirakan jumlah pelanggan 3G mencapai 1,7 juta. Selanjutnya tahun 2007 pelanggan 3G diperkirakan mencapai 3,7 juta pelanggan dan 2008 mencapai 6,7 juta pelanggan.

Secara sekilas dapat terbaca bahwa jumlah pelanggan 3G telah melampaui jumlah pelanggan internet. Jadi, andaikan pun seluruh pelanggan internet menggunakan broadband, maka jumlahnya di bawah jumlah pelanggan 3G. Dan andaikan seluruh pelanggan 3G menggunakannya untuk akses internet, maka jumlahnya telah melampaui pelanggan internet di Indonesia.

Jadi, pantas diduga bahwa tidak seluruh pelanggan 3G menggunakan fasilitasnya untuk akses internet.

Seiring Sejalan

Akuisisi pasar 3G untuk layanan akses internet harus dibarengi dengan penyediaan kemudahan di sisi pelanggan, misalnya pengadaan modem 3G dengan berbagai pilihan slot PCMCIA atau USB atau ethernet untuk akses melalui laptop secara mobile.

Penyediaan paket-paket layanan khusus harus dibarengi dengan penyediaan device khusus, seperti misalnya kamera 3G untuk monitoring keamanan rumah, telepon umum 3G untuk daerah pedesaan, dan sebagainya. Untuk itu, dengan sendirinya aplikasi di satu sisi juga perlu disediakan.

Jadi, dua hal yang perlu disiapkan secara simultan adalah kesiapan terminal/device dan aplikasi khusus.

Handphone, Video Call, dan Video Streaming

Belum diperoleh data yang meyakinkan bahwa pelanggan 3G di Indonesia memanfaatkan layanan tersebut sebagaimana diharapkan para provider. Benarkah pelanggan sejumlah itu menggunakan video call, video streaming, online games, dan music download?

Jumlah pengguna dan pelanggan 3G yang sesungguhnya tidak bisa hanya ditentukan dari jumlah handphone 3G yang beredar di pasaran. Di Indonesia, handphone bisa berarti status sosial. Dalam periode waktu yang singkat, seseorang bisa berganti handphone; belum tentu untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan mereka melainkan sekadar mengikuti tren handphone. Optimalisasi pemanfaatan perangkat handphone yang mendukung 3G oleh pelanggan jarang kita lihat dan dengar beritanya.

Pada saat awal peluncuran 3G di Indonesia, keberadaan handphone 3G masih tergolong mahal. Pada awal sosialisasi teknologi ini pun, tema yang sering diangkat ialah kemampuan 3G untuk layanan video call dan video streaming.

Untuk memperkenalkan sebuah tren komunikasi yang tergolong baru, maka perlu adanya sebuah sensasi. Pada era 2G, layanan SMS adalah cukup sensasional.

Sebenarnya, video call bisa merangsang efek sensasi personal pemakainya. Namun, budaya masyarakat Indonesia untuk bertatap muka atau menonton video pada device yang berukuran sangat terbatas atau kecil belum nampak menonjol, bahkan mungkin belum terbentuk. Apalagi jika kualitas video yang ditayangkan mengecewakan, maka aspek sensasi itu menjadi makin berkurang.

Oleh karena itu, perlu dicermati lebih mendalam lagi, adakah kecenderungan pemakai handphone di Indonesia untuk saling bertatap muka ataukah justru sebaliknya. Kencenderungan personal ini akan sangat menentukan keberhasilan layanan video call 3G. Kemampuan dan popularitas layanan ini sebenarnya bisa didongkrak seandainya kualitas tayangan bisa dijaminkan. Para pelaku bisnis akan tertarik memanfaatkannya untuk video conference, jika hal itu dimungkinkan oleh operator.

Jadi, kalaupun delivery berbagai layanan 3G itu akan diselenggarakan, maka segmentasi pelanggan adalah kuncinya.

3G mungkin tidak akan cukup efektif bersaing pada area pelanggan broadband lainnya. Karena itu, personalisasi layanan adalah salah satu kunci utama agar 3G bisa bertahan lebih lama. Karena, dalam hal ketersediaan bandwidth, 3G tidak bisa cukup bersaing di masa depan yang sudah terbayangkan. Begitu pula dalam hal kecepatan transmisi, 3G sudah kalah cepat dibanding teknologi broadband wireless access lainnya yang jauh lebih kencang dan sedang bergerak menuju kemampuan mobilitas yang lebih baik.

Ini Dia: Mobile & Praktis!
3G, dengan perangkat handphone-nya yang sudah banyak beredar di Indonesia, sebaiknya mengandalkan kemampuan mobilitasnya dan kepraktisannya. Mobilitas dalam hal ini, telah diakui, terutama kemampuan roaming-nya. Kepraktisan dalam hal ini, tentu terkait dengan terminal pelanggan atau handset, terbukti ringan ditenteng dan masih bisa dimasukkan ke dalam saku –dan masih diperlukan inovasi baterai irit agar mendukung pengguna untuk �always on�. Untuk bertahan lebih lama lagi, maka inovasi atau kreativitas dalam local content juga sangat mendesak.

Keberadaan content provider di Indonesia yang mencapai 200 perusahaan, hendaknya bisa didorong untuk lebih kreatif. Sudah barang tentu hal itu harus diimbangi dengan skema kerjasama dengan operator yang saling menguntungkan sehingga (itu tadi) mampu terus merangsang kreativitas. Keberadaan aplikasi yang praktis dan menyentuh langsung kebutuhan personal pelanggannya, itulah yang menentukan masa depan 3G di Indonesia. Bergeraklah ke sana, sebelum masa surut itu tiba. Setiap teknologi memiliki umurnya masing-masing.

Terakhir namun tak kalah pentingnya: sensitivitas masyarakat Indonesia pada tarif pun masih cukup dominan menentukan, apalagi ketika pada akhirnya rata-rata kualitas layanan setiap operator sudah sama. Tarif yang terjangkau dan fair. Masih berharap pada loyalitas pelanggan? Itu arah yang tepat, namun perlu beberapa langkah lagi untuk mewujudkannya. Jadi: tarif.


Catatan Kaki:

  1. Sumber: 3G Today, September 2006.
  2. Sumber: Market Clarity, 2006.
  3. Perhitungannya dari jumlah pendapatan dibagi jumlah pengguna dibagi 12 (jumlah bulan dalam setahun). Dengan asumsi US$ 1 = ID Rp9000, maka diperoleh angka tersebut. Penghitungan ARPU pada bahasan lainnya juga seperti itu.
  4. Sumber: In-Stat, 2006
  5. Sumber: Arc Group, 2006
  6. Sumber: Internetworldstats, 2007
  7. Killer application adalah aplikasi yang menjadi tren dan paling banyak digunakan pengguna.

print this page 

0 komentar:

Blog: Erwin - Belajar Blog | The Template by : kendhin Website: x-template.blogspot.com| Powered By: Erwin Arianto